Kita pasti pernah atau bahkan sering geram
ketika mendengar atau membaca pemberitaan
media masa tentang oknum anggota DPR kita yang terhormat, yang menjadi wakil
rakyat, tentunya menjadi wakil kita pula, kerjaannya datang, tidur, dengkur,
suka bolos teratur, kadang study banding padahal sekalian tur, lebih banyak
mikirin duit dan malas mikirin rakyatnya. Belum lagi pemberitaan tentang oknum
anggota DPR yang harusnya memerjuangkan hak rakyat, eh malah ngerampok duitnya
rakyat. Dan celakanya, stigma negatif itu udah menjadi hal yang mainstream di
kalangan masyarakat kita. Ada lagi kelakuan oknum anggota DPR kita belakangan
yang berlakon bagaikan anak kecil sedang
berkelahi demi memerebutkan kekuasaan disana, dan celakanya pula, hal tersebut
menjadi konsumsi publik secara LIVE di beberapa stasiun TV Nasional. Bahkan
anak kecil, mungkin bisa berkelahi lebih baik. Disusul pula drama yang akhirnya
meloloskan seseorang yang memiliki rekam jejak hukum yang masih “abu-abu”, untuk
lolos uji kelayakan dan hampir menjadi pemimpin bagi para polisi se RI ini. Beberapa
waktu yang lalu pun, ada meme comic
yang menyindir oknum anggota DPR ini dengan cara membandingkan foto beberapa
oknum anggota mereka yang sedang tertidur di ruang DPR dengan para TIM SAR
gabungan yang bertugas mengevakuasi korban Air Asia yang juga sedang tidur
(sepertinya) disalah satu KRI, dengan judul, ”bedanya orang tidur karena kerja
dan orang yang kerjaannya cuma tidur”, miris.
Mungkin ga salah kalo mantan
Presiden Republik Indonesia ke-4 yaitu KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur
mengatakan, “beda DPR dengan taman kanak-kanak memang tidak jelas”, alias DPR
ini mirip dengan taman kanak-kanak. Oke, cukup, saya gamau bahas anggota DPR
lagi. Sebenarnya bukan cuma oknum anggota DPR aja sih yang seperti itu. Di kalangan
eksekutif (pemerintahan) kayaknya juga udah mainstream deh ya, hanya saja
seringnya yang ke blow up ya oknum
anggota DPR. Kalo kata salah satu “guru” saya sih, DPR belum tentu semuanya
diisi para “setan” berdasi, dan belum tentu pula semuanya diisi para “malaikat”
berdasi. Karena kalo yang ngisi itu malaikat, ya ga keliatan lah wujudnya, nah
kalo setan? Ya bisa aja ditunjukkin
dengan kelakuannya. Setan ga harus menampakan diri dengan wujudnya yang nyata,
cukup melalui perantara. Makanya yang kelakuannya mirip-mirip setan, sukanya
ngelanggar perintah Allah, ngajakin manusia berbuat maksiat, bisa jadi
sesungguhnya dia adalah perwujudan dari setan yang sebenarnya, oke ini salah fokus. Tapi sampai sini, tentunya kita harus cermati
dan kita renungkan, bahwasanya bapak-bapak dan juga ibu-ibu anggota DPR yang
terhormat ini, dulunya pernah menjadi seperti kita. Iya, seperti kita ini dalam
hal duduk di bangku sekolah atau kuliah, dan mengenyam pendidikan, baik secara
formal maupun informal. Bahkan beberapa diantara mereka ada yang bergelar prof,
iya prof, profokator maksudnya, seperti kisah Gus Dur kepada mantan wakil ketua
Komisi Pemberantasan Korupsi, Chandra Hamzah.
Dan pernah kepikiran ga sih
tentang peribahasa jaman kita SD dulu, “ala bisa karena biasa”?. Ya, seseorang
bisa karena telah terbiasa. Kita bisa berbicara bahasa Jawa, karena terbiasa
berbahasa Jawa, kita bisa menulis dengan tangan kanan, karena terbiasa menulis
dengan tangan kanan. Begitu pula para oknum anggota DPR ini, mereka bisa
menjadi seperti hal diatas tadi, karena sudah terbiasa. Seorang kawan lama,
mengajakku berdiskusi dengan topik kelakuan para oknum DPR tadi, jangan-jangan
apa yang dilakukan para oknum anggota DPR ini dimasa sekarang, sudah merupakan
kebiasaannya ketika di masa lalu. Utamanya ketika sedang mengenyam pendidikan,
katakanlah di bangku kuliah. Mengapa demikian? Oke, mari kita renungkan. Beberapa oknum anggota DPR yang kerjanya hanya datang, tidur, dengkur, mikir duit,
malas mikirin rakyat, mungkin berawal dari kebiasaan ketika menjadi seorang
mahasiswa di kelas, dia hanya datang ke kelas demi menggugurkan kewajibannya
untuk kuliah, atau hanya memenuhi tuntutan kehadiran kuliah saja. Bisa jadi karena
ada absen panggil mungkin. Kalo ga ada absen panggil? Ya boro boro kuliah,
bangun dari kasur aja ga bakal, kan bisa titip absen. Mereka datang dan hadir
di kelas, namun menjadi mahasiswa yang pasif, karena mereka terlalu malas untuk
berfikir tentang materi yang sedang di kuliahkan oleh sang dosen, yang akhirnya
membuat mereka berpikir lebih baik tidur, toh syukur-syukur aku sudah hadir
kuliah.
Ah, mungkin selain tidur, tren di jaman sekarang main game di smartphone. Mungkin kalo di kos-kosan sepulang kuliah mereka
belajar sendiri demi mengejar ketertinggalan di kelas karena tidur atau main game. Kalo yang begini okelah,
setidaknya masih ada usaha buat belajar. Lah tapi kalo udah di kelas pasif, kerjaannya
tiduran atau main game aja, sepulang kuliah malah hura hura hore hore,
belajarnya semalam sebelum ujian dipagi hari, terus maunya apa dong? Nilai bagus?
Nilai sendiri aja ya nak dirimu. Padahal, sadar atau enggak, mereka ini tumpuan
dan harapan orang tua mereka. Orang tua sudah bekerja demi membiayai pendidikan
dan bahkan sebagian mensubsidi biaya kehidupan selama di perantauan. Orang tua
juga berharap si anak dapat menjadi orang yang dapat mengangkat harkat,
martabat, dan derajat keluarga di mata orang lain. Tapi kelakuan si anak di
perantauan, malah..yah kamu tau lah. Nah, diakhir semester, waktu nilai UAS
udah pada keluar, dan ga sesuai ekspektasi, merekanya malah mencak-mencak, bahkan mungkin ada yang sambil misuh-misuh, nyari pembenaran dan alasan kalo harusnya mereka ga
dapat nilai segitu, harusnya bisa lebih baik lagi. Ga terima usahaya (yang
walau hanya belajar semalaman pun masih dibilang, yang penting usaha!! Padahal
ya ga semalaman juga, paling juga cuma 3-4 jam, belum dipotong waktu sibuk sama
smartphonenya) di hargai dengan nilai
pas pasan, tapi kalo disuruh nilai diri sendiri, yaelah, maunya nilai yang
tinggi aja, padahal usahanya? Nilai sendiri usahanya yang diatas tadi.
Ada lagi salah satu penyakit kronis yang
diderita sebagian besar pelajar dan mahasiswa kita, yaitu penyakit menyontek. Seakan-akan
penyakit ini sudah menjadi budaya dan hal yang mainstream serta wajar dilakukan oleh seorang pelajar dan mahasiswa
ketika sedang ujian. Sehingga pengawas ujian yang harusnya menjadi pengawas
ketika ujian, malah terbalik, maksudnya tigasnya diambil alih oleh para peserta
ujian, pengawas malah yang diawasi oleh pelajar atau mahasiswa yang sedang
ujian. Aneh, tapi nyatanya seperti itu. Kalo seorang mahasiswa udah berani
nyontek, apalagi dia pikir dia berhasil mengelabui para pengawas berkali kali,
ga sekali dua kali lho ya, dan dia bangga juga ngerasa aman-aman aja, sebenarnya
ini sudah jadi masalah kronis juga. Mungkin dia lupa, kalo di pundak
kanan-kirinya itu ada malaikat yang senantiasa mencatat amalnya, dan juga Allah,
atau TuhanNya itu Maha Melihat, Dia ga pernah tidur dan ga pernah lalai dalam
mengawasi para hambaNya, dan Dia adalah sebaik-baiknya pengawas. Lah, kalo masih
mahasiswa aja udah ngerasa ga diawasin gini sama Allah, Tuhannya sendiri, ya jangan
kaget kalo nanti suatu saat waktu jadi pejabat, dianya berani nilep duit rakyat. Yang penting kan ga
ketahuan KPK. Wong integritasnya waktu jadi mahasiswa aja ga ada kok. Ya
mirip-miriplah kayak waktu ujian di sekolah atau kampus dulu, bedanya pengawasnya
bukan lagi guru, dosen, atau pegawai kampus, tapi KPK.
Kemudian yang lucu juga,
beberapa aktivis organisasi yang kalo ngadain kegiatan, waktu ngajuin proposal
kegiatan, suka nge mark up anggaran, alias
menggelembungkan anggaran, tapi kadang realisasinya ga sesuai sama anggaran
yang tertulis. Alasannya beragam, salah satunya yang paling klasik, ”kita
ngajuin segini, toh belum tentu juga turun segini kok, jadi ya sah-sah aja
dong”. Ini juga (menurut hasil diskusi kami) merupakan bibit-bibit buruk buat
masa depan. Dengan cara begini, sadar atau enggak, sebenarnya ini merupakan
proses belajar korupsi. Jangan heran kalo ada oknum pejabat eksekutif atau
legislatif yang tertangkap karena masalah mark
up anggaran atau penggelembungan dana. Jadi menganggarkan sesuatu, tapi
realisasinya ga sesuai sama anggaran yang tertulis. Misal nih, anggaran buat
satu kardus air mineral di tulis Rp 25.000,- tapi nyatanya malah beli yang Rp 20.000,-
dan yang Rp 5000,- nya ga bisa dipertanggung jawabkan, sepele sih, dan cuma Rp
5000,- aja, tapi ini bisa termasuk korupsi lho :3 hehehe (tapi saya yakin SKI
FK UWKS ga begini, secara, ini kan Kerohanian Islam bung!!! Yang ngawasin
langsung Allah *salahfokus). Mungkin kamu bisa ngeles di dunia dan dihadapan
para manusia, entah dengan cara apapun dan mungkin bisa lolos dari hukuman. Tapi
ingat, mungkin ketika di pengadilannya Allah di akhirat nanti, jangan harap ada
ampunan buatmu wahai para oknum. Jadi, sebelum diadili di dunia dan akhirat,
segeralah bertaubat.
Itulah hasil dari diskusi kami yang pada
akhirnya sampai pada kesimpulan, bahwa sebenarnya para anggota DPR ini adalah
produk masa lalu. Mereka pernah mengalami masa-masa dimana masa itu sedang kita
alami dan kita jalani saat ini. Yang membedakan kelak, adalah bagaimana kita menjalani
proses pembentukan jati diri kita saat ini, sesuai peribahasa “ala bisa karena
biasa”. Apakah kita mau menjadi generasi yang sama dengan generasi yang sering (sebagian
dari) kita cemooh dan hujat saat ini? Yang sering mendapat sorotan media masa karena
kontroversinya bukan karena prestasinya? Atau kita mau menjadi generasi yang
setidaknya lebih baik daripada generasi saat ini? Kita yang memilihnya. Lalu,
apakah semua anggota DPR itu bejat? Tentu saja kami tidak berpikiran seperti
itu. Saya pribadi pun, masih optimis dan percaya bahwa sebenarnya masih ada
segelintir pejabat DPR yang idealis dan berintegritas, yang masih dan selalu
memikirkan, membela, serta memerjuangkan hak-hak rakyat. Sama juga seperti mahasiswa,
ga semuanya juga rela menggadaikan integritas dan idealismenya demi nilai. Hanya
saja, kalau dalam istilah jurnalisme yang sedang tren saat ini, bad news is a good news. Semakin buruk
beritanya, berarti semakin bagus buat dijual dan dijadikan berita. Bukankah terkadang
kita juga sering lebih suka melihat, mendengar, membaca, dan menggunjingkan
keburukan orang lain ketimbang kebaikan atau prestasinya? Ah entahlah, mungkin
hanya perasaan saya saja.
Nah, oleh karenanya, hati-hati ketika kamu sedang
menghujat atau mencemooh seorang oknum anggota DPR, bisa jadi dia adalah
cerminan masa depanmu kelak, dan kamu adalah cerminan masa lalunya dulu. Maka,
ketika kita menjadi seorang mahasiswa, jangan pernah menjual atau bahkan
menukarkan idealisme dan integritas kita hanya demi sebuah nilai berupa abjad
dan angka dengan cara-cara curang dan tidak terpuji serta tidak terhormat.
Karena bisa jadi, suatu saat nanti kita berani menjual atau bahkan menukarkan idealisme
kita demi harta, tahta, mungkin juga di tambah wanita dengan cara-cara yang
sama tidak terpujinya. Mari kita amalkan nasihat Aa Gym, kalo mau mengubah
bangsa ini, mulailah dari diri sendiri, mulai dari hal yang paling kecil, mulailah
dari sekarang. Mari sama-sama berkaca kemudian intropeksi diri, dan kalau
memang ada yang harus diperbaiki, perbaikilah segera.
“Allah tidak ada Tuhan melainkan Dia yang Maha Kekal lagi terus menerus mengurusi makhlukNya, tidak mengantuk dan tidak tidur. KepunyaanNya apa yang di langit dan di bumi. Siapakah yamg dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izinNya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendakiNya. Kursi Allah meliputilangit dan bumi, dan Allah tidak merasa berat memelihara kedunya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS Al Baqarah: 255)
Wallahu’alam bissawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar