Kamis, 08 Oktober 2015

Cerminan Masa Lalu dan Cerminan Masa Depan

  Kita pasti pernah atau bahkan sering geram ketika mendengar atau membaca  pemberitaan media masa tentang oknum anggota DPR kita yang terhormat, yang menjadi wakil rakyat, tentunya menjadi wakil kita pula, kerjaannya datang, tidur, dengkur, suka bolos teratur, kadang study banding padahal sekalian tur, lebih banyak mikirin duit dan malas mikirin rakyatnya. Belum lagi pemberitaan tentang oknum anggota DPR yang harusnya memerjuangkan hak rakyat, eh malah ngerampok duitnya rakyat. Dan celakanya, stigma negatif itu udah menjadi hal yang mainstream di kalangan masyarakat kita. Ada lagi kelakuan oknum anggota DPR kita belakangan yang  berlakon bagaikan anak kecil sedang berkelahi demi memerebutkan kekuasaan disana, dan celakanya pula, hal tersebut menjadi konsumsi publik secara LIVE di beberapa stasiun TV Nasional. Bahkan anak kecil, mungkin bisa berkelahi lebih baik. Disusul pula drama yang akhirnya meloloskan seseorang yang memiliki rekam jejak hukum yang masih “abu-abu”, untuk lolos uji kelayakan dan hampir menjadi pemimpin bagi para polisi se RI ini. Beberapa waktu yang lalu pun, ada meme comic yang menyindir oknum anggota DPR ini dengan cara membandingkan foto beberapa oknum anggota mereka yang sedang tertidur di ruang DPR dengan para TIM SAR gabungan yang bertugas mengevakuasi korban Air Asia yang juga sedang tidur (sepertinya) disalah satu KRI, dengan judul, ”bedanya orang tidur karena kerja dan orang yang kerjaannya cuma tidur”, miris. 



  Mungkin ga salah kalo mantan Presiden Republik Indonesia ke-4 yaitu KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur mengatakan, “beda DPR dengan taman kanak-kanak memang tidak jelas”, alias DPR ini mirip dengan taman kanak-kanak. Oke, cukup, saya gamau bahas anggota DPR lagi. Sebenarnya bukan cuma oknum anggota DPR aja sih yang seperti itu. Di kalangan eksekutif (pemerintahan) kayaknya juga udah mainstream deh ya, hanya saja seringnya yang ke blow up ya oknum anggota DPR. Kalo kata salah satu “guru” saya sih, DPR belum tentu semuanya diisi para “setan” berdasi, dan belum tentu pula semuanya diisi para “malaikat” berdasi. Karena kalo yang ngisi itu malaikat, ya ga keliatan lah wujudnya, nah kalo setan?  Ya bisa aja ditunjukkin dengan kelakuannya. Setan ga harus menampakan diri dengan wujudnya yang nyata, cukup melalui perantara. Makanya yang kelakuannya mirip-mirip setan, sukanya ngelanggar perintah Allah, ngajakin manusia berbuat maksiat, bisa jadi sesungguhnya dia adalah perwujudan dari setan yang sebenarnya, oke ini salah fokus. Tapi sampai sini, tentunya kita harus cermati dan kita renungkan, bahwasanya bapak-bapak dan juga ibu-ibu anggota DPR yang terhormat ini, dulunya pernah menjadi seperti kita. Iya, seperti kita ini dalam hal duduk di bangku sekolah atau kuliah, dan mengenyam pendidikan, baik secara formal maupun informal. Bahkan beberapa diantara mereka ada yang bergelar prof, iya prof, profokator maksudnya, seperti kisah Gus Dur kepada mantan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Chandra Hamzah. 

  Dan pernah kepikiran ga sih tentang peribahasa jaman kita SD dulu, “ala bisa karena biasa”?. Ya, seseorang bisa karena telah terbiasa. Kita bisa berbicara bahasa Jawa, karena terbiasa berbahasa Jawa, kita bisa menulis dengan tangan kanan, karena terbiasa menulis dengan tangan kanan. Begitu pula para oknum anggota DPR ini, mereka bisa menjadi seperti hal diatas tadi, karena sudah terbiasa. Seorang kawan lama, mengajakku berdiskusi dengan topik kelakuan para oknum DPR tadi, jangan-jangan apa yang dilakukan para oknum anggota DPR ini dimasa sekarang, sudah merupakan kebiasaannya ketika di masa lalu. Utamanya ketika sedang mengenyam pendidikan, katakanlah di bangku kuliah. Mengapa demikian? Oke, mari kita renungkan. Beberapa oknum anggota DPR yang kerjanya hanya datang, tidur, dengkur, mikir duit, malas mikirin rakyat, mungkin berawal dari kebiasaan ketika menjadi seorang mahasiswa di kelas, dia hanya datang ke kelas demi menggugurkan kewajibannya untuk kuliah, atau hanya memenuhi tuntutan kehadiran kuliah saja. Bisa jadi karena ada absen panggil mungkin. Kalo ga ada absen panggil? Ya boro boro kuliah, bangun dari kasur aja ga bakal, kan bisa titip absen. Mereka datang dan hadir di kelas, namun menjadi mahasiswa yang pasif, karena mereka terlalu malas untuk berfikir tentang materi yang sedang di kuliahkan oleh sang dosen, yang akhirnya membuat mereka berpikir lebih baik tidur, toh syukur-syukur aku sudah hadir kuliah. 

  Ah, mungkin selain tidur, tren di jaman sekarang main game di smartphone. Mungkin kalo di kos-kosan sepulang kuliah mereka belajar sendiri demi mengejar ketertinggalan di kelas karena tidur atau main game. Kalo yang begini okelah, setidaknya masih ada usaha buat belajar. Lah tapi kalo udah di kelas pasif, kerjaannya tiduran atau main game aja, sepulang kuliah malah hura hura hore hore, belajarnya semalam sebelum ujian dipagi hari, terus maunya apa dong? Nilai bagus? Nilai sendiri aja ya nak dirimu. Padahal, sadar atau enggak, mereka ini tumpuan dan harapan orang tua mereka. Orang tua sudah bekerja demi membiayai pendidikan dan bahkan sebagian mensubsidi biaya kehidupan selama di perantauan. Orang tua juga berharap si anak dapat menjadi orang yang dapat mengangkat harkat, martabat, dan derajat keluarga di mata orang lain. Tapi kelakuan si anak di perantauan, malah..yah kamu tau lah. Nah, diakhir semester, waktu nilai UAS udah pada keluar, dan ga sesuai ekspektasi, merekanya malah mencak-mencak, bahkan mungkin ada yang sambil misuh-misuh, nyari pembenaran dan alasan kalo harusnya mereka ga dapat nilai segitu, harusnya bisa lebih baik lagi. Ga terima usahaya (yang walau hanya belajar semalaman pun masih dibilang, yang penting usaha!! Padahal ya ga semalaman juga, paling juga cuma 3-4 jam, belum dipotong waktu sibuk sama smartphonenya) di hargai dengan nilai pas pasan, tapi kalo disuruh nilai diri sendiri, yaelah, maunya nilai yang tinggi aja, padahal usahanya? Nilai sendiri usahanya yang diatas tadi.

  Ada lagi salah satu penyakit kronis yang diderita sebagian besar pelajar dan mahasiswa kita, yaitu penyakit menyontek. Seakan-akan penyakit ini sudah menjadi budaya dan hal yang mainstream serta wajar dilakukan oleh seorang pelajar dan mahasiswa ketika sedang ujian. Sehingga pengawas ujian yang harusnya menjadi pengawas ketika ujian, malah terbalik, maksudnya tigasnya diambil alih oleh para peserta ujian, pengawas malah yang diawasi oleh pelajar atau mahasiswa yang sedang ujian. Aneh, tapi nyatanya seperti itu. Kalo seorang mahasiswa udah berani nyontek, apalagi dia pikir dia berhasil mengelabui para pengawas berkali kali, ga sekali dua kali lho ya, dan dia bangga juga ngerasa aman-aman aja, sebenarnya ini sudah jadi masalah kronis juga. Mungkin dia lupa, kalo di pundak kanan-kirinya itu ada malaikat yang senantiasa mencatat amalnya, dan juga Allah, atau TuhanNya itu Maha Melihat, Dia ga pernah tidur dan ga pernah lalai dalam mengawasi para hambaNya, dan Dia adalah sebaik-baiknya pengawas. Lah, kalo masih mahasiswa aja udah ngerasa ga diawasin gini sama Allah, Tuhannya sendiri, ya jangan kaget kalo nanti suatu saat waktu jadi pejabat, dianya berani nilep duit rakyat. Yang penting kan ga ketahuan KPK. Wong integritasnya waktu jadi mahasiswa aja ga ada kok. Ya mirip-miriplah kayak waktu ujian di sekolah atau kampus dulu, bedanya pengawasnya bukan lagi guru, dosen, atau pegawai kampus, tapi KPK. 

  Kemudian yang lucu juga, beberapa aktivis organisasi yang kalo ngadain kegiatan, waktu ngajuin proposal kegiatan, suka nge mark up anggaran, alias menggelembungkan anggaran, tapi kadang realisasinya ga sesuai sama anggaran yang tertulis. Alasannya beragam, salah satunya yang paling klasik, ”kita ngajuin segini, toh belum tentu juga turun segini kok, jadi ya sah-sah aja dong”. Ini juga (menurut hasil diskusi kami) merupakan bibit-bibit buruk buat masa depan. Dengan cara begini, sadar atau enggak, sebenarnya ini merupakan proses belajar korupsi. Jangan heran kalo ada oknum pejabat eksekutif atau legislatif yang tertangkap karena masalah mark up anggaran atau penggelembungan dana. Jadi menganggarkan sesuatu, tapi realisasinya ga sesuai sama anggaran yang tertulis. Misal nih, anggaran buat satu kardus air mineral di tulis Rp 25.000,- tapi nyatanya malah beli yang Rp 20.000,- dan yang Rp 5000,- nya ga bisa dipertanggung jawabkan, sepele sih, dan cuma Rp 5000,- aja, tapi ini bisa termasuk korupsi lho :3 hehehe (tapi saya yakin SKI FK UWKS ga begini, secara, ini kan Kerohanian Islam bung!!! Yang ngawasin langsung Allah *salahfokus). Mungkin kamu bisa ngeles di dunia dan dihadapan para manusia, entah dengan cara apapun dan mungkin bisa lolos dari hukuman. Tapi ingat, mungkin ketika di pengadilannya Allah di akhirat nanti, jangan harap ada ampunan buatmu wahai para oknum. Jadi, sebelum diadili di dunia dan akhirat, segeralah bertaubat.

  Itulah hasil dari diskusi kami yang pada akhirnya sampai pada kesimpulan, bahwa sebenarnya para anggota DPR ini adalah produk masa lalu. Mereka pernah mengalami masa-masa dimana masa itu sedang kita alami dan kita jalani saat ini. Yang membedakan kelak, adalah bagaimana kita menjalani proses pembentukan jati diri kita saat ini, sesuai peribahasa “ala bisa karena biasa”. Apakah kita mau menjadi generasi yang sama dengan generasi yang sering (sebagian dari) kita cemooh dan hujat saat ini? Yang sering mendapat sorotan media masa karena kontroversinya bukan karena prestasinya? Atau kita mau menjadi generasi yang setidaknya lebih baik daripada generasi saat ini? Kita yang memilihnya. Lalu, apakah semua anggota DPR itu bejat? Tentu saja kami tidak berpikiran seperti itu. Saya pribadi pun, masih optimis dan percaya bahwa sebenarnya masih ada segelintir pejabat DPR yang idealis dan berintegritas, yang masih dan selalu memikirkan, membela, serta memerjuangkan hak-hak rakyat. Sama juga seperti mahasiswa, ga semuanya juga rela menggadaikan integritas dan idealismenya demi nilai. Hanya saja, kalau dalam istilah jurnalisme yang sedang tren saat ini, bad news is a good news. Semakin buruk beritanya, berarti semakin bagus buat dijual dan dijadikan berita. Bukankah terkadang kita juga sering lebih suka melihat, mendengar, membaca, dan menggunjingkan keburukan orang lain ketimbang kebaikan atau prestasinya? Ah entahlah, mungkin hanya perasaan saya saja. 

  Nah, oleh karenanya, hati-hati ketika kamu sedang menghujat atau mencemooh seorang oknum anggota DPR, bisa jadi dia adalah cerminan masa depanmu kelak, dan kamu adalah cerminan masa lalunya dulu. Maka, ketika kita menjadi seorang mahasiswa, jangan pernah menjual atau bahkan menukarkan idealisme dan integritas kita hanya demi sebuah nilai berupa abjad dan angka dengan cara-cara curang dan tidak terpuji serta tidak terhormat. Karena bisa jadi, suatu saat nanti kita berani menjual atau bahkan menukarkan idealisme kita demi harta, tahta, mungkin juga di tambah wanita dengan cara-cara yang sama tidak terpujinya. Mari kita amalkan nasihat Aa Gym, kalo mau mengubah bangsa ini, mulailah dari diri sendiri, mulai dari hal yang paling kecil, mulailah dari sekarang. Mari sama-sama berkaca kemudian intropeksi diri, dan kalau memang ada yang harus diperbaiki, perbaikilah segera. 
“Allah tidak ada Tuhan melainkan Dia yang Maha Kekal lagi terus menerus mengurusi makhlukNya, tidak mengantuk dan tidak tidur. KepunyaanNya apa yang di langit dan di bumi. Siapakah yamg dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izinNya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendakiNya. Kursi Allah meliputilangit dan bumi, dan Allah tidak merasa berat memelihara kedunya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS Al Baqarah: 255)
Wallahu’alam bissawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar