Dulu ketika masih menjadi mahasiswa, setiap ada praktikum atau skill lab yang memerlukan orang coba, aku selalu siap sedia menjadi sukrelawan. Selain memang orang coba harus laki-laki, jarang ada yang mau merelakan dirinya menjadi orang coba. Lagipula, kontribusiku sebagai anggota kelompok jika tidak menjadi orang coba juga kurang signifikan pikirku waktu itu. Jadi, aku anggap menjadi orang coba adalah kompensasi sekaligus kontribusi terhadap kelompok. Tapi terkadang sebagai orang coba, ada kondisi-kondisi yang kurang menyenangkan atau tidak nyaman.
Bukan saja ketika kamu harus diposisikan sebagai pasien yang akan atau sedang diperiksa, tapi juga ketika kamu harus merelakan beberapa bagian tubuhmu terlihat oleh teman-temanmu. Kalo tubuhmu atletis, mungkin bangga kali ya. Lah kalo perutnya tambun, terus dadanya berbulu lebat, apa ga ketawa merekanya nanti. Apalagi kalo yang liat juga ada cewek-cewek, malu dong ya. Percayalah, bertelanjang dada di depan orang yang ga kita kenalin itu ga nyaman. Apalagi kalo orangnya banyak. Udah gitu, perut atau dada pun masih dipegang-pegang untuk diperiksa. Aku juga jadi ingat, ketika sedang kuliah pradik, materi keterampilan pemeriksaan fisik Paru, dosenku meminta seorang relawan dari kami untuk menjadi orang coba. Waktu itu aku enggan, karena pemeriksaan paru mengharuskan orang coba bertelanjang dada. Dan setelah dicontohkan oleh dosen, setiap orang akan mencoba satu persatu. Tentunya kepada orang coba.
Selain itu, tubuhku juga ga bagus-bagus banget, katakanlah tambun meskipun dadaku ga berbulu. Untungnya waktu itu salah satu kawanku bersedia menjadi orang coba. Selepas kuliah, dosenku memberikan "wejangan", bahwasanya jika menjadi orang coba saja tidak nyaman, maka menjadi pasien pun lebih tidak nyaman. Apalagi harus bertelanjang dada di depan orang lain. Oleh karenanya, perlakukan setiap pasien dengan baik dan profesional ketika melakukan pemeriksaan fisik dan jangan lupa meminta izin. Posisikan dirimu sebagai pasien, sehingga kamu bisa memperlakukan pasien sebagaimana kamu ingin diperlakukan. Pasien datang ke dokter itu sudah membawa keluhan dan ketidaknyamanan, maka sebisa mungkin jangan menambah keluhan mereka lagi, atau minimalisirlah ketidaknyamanan mereka.
Dan disinilah aku sekarang, bertugas sebagai dokter muda di bagian kulit dan kelamin di sebuah Rumah Sakit di salah satu Kabupaten di Jawa Timur. Sekarang, bukan lagi hanya sebatas dada dan perut saja yang akan aku observasi dan evaluasi, tapi terkadang juga aku harus melihat secara utuh. Bahkan alat kelamin sekalipun. Aku yakin ini tidak nyaman bagi setiap pasien yang terkadang harus rela alat kelaminnya dilihat orang lain, apalagi jika penyakitnya berhubungan dengan alat kelamin. Tapi aku yakin, mereka memiliki kepercayaan dan harapan akan kesembuhannya. Jika tidak, mana mungkin mereka mau membiarkan aku melihat alat kelamin mereka. Maka, kepercayaan serta harapan tersebut mutlak harus dibayar dengan profesionalitas.
Bayangkan apa jadinya jika aku tertawa, mengejek, atau mengeluh secara terang-terangan di depan pasien ketika melihat kelainan pada alat kelaminnya. Hal yang hampir pasti, kemungkinan besar aku ga bakal lulus stase ini. Bisa jadi juga suatu saat aku kualat. Maka, profesionalitas mutlak sangat penting sekali disini. Ada satu hal yang harus selalu aku ingat dan pegang teguh, pesan dari seorang guruku bahwasanya, kedokteran itu long life learning, dan guru para dokter, bukan sebatas dosen serta karya-karyanya, akan tetapi juga para pasien. Ya, para pasien juga adalah guru bagi para dokter. Apalagi bagi seorang dokter muda sepertiku ini. Tidak akan pernah seorang mahasiswa kedokteran menjadi dokter tanpa pernah menangani seorang pasien ketika menjadi dokter muda. Ah iya, ngomong-ngomong, terima kasih ya mas, dek, pak yang hari ini rela "tititnya" saya periksa, semoga cepat sembuh dan ga sakit lagi ya! Aamiin.